Sabtu, 22 Agustus 2009

Konsumerisme di bulan Ramadhan

Ramadhan merupakan moment yang di tunggu-tunggu oleh umat Islam di dunia, karena umat Islam sendiri memiliki keyakinan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan bulan penuh ampunan, dengan memperbanyak ibadah di bulan ramadhan ini akan lebih membuat hidup ibadah kita. Khususnya Indonesia sendiri, di bulan Ramadhan ini ada satu budaya yang melekat di diri manusianya yaitu konsumenisme. Di bulan Ramadhan kebutuhan manusia di kategorikan menjadi 2 macam, kebutuhan manusia yang di maksud ada dua jenis yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani disini adalah kebutuhan hidup atau juga ekonomi manusia, seperti kebutuhan primer, sekunder, tersier sedangkan kebutuhan rohani adalah keimanan dan ketaqwaan terhadap Ajaran Allah.
Di dalam diri masyarakat kedua kebutuhan ini menimbulkan budaya yaitu budaya pasar dan budaya masjid, jika kebutuhan jasmani masuk ke dalam kategori budaya pasar sedangkan kebutuhan rohani masuk ke dalam budaya masjid, dan terbentuk juga sebuah pola di dalam diri manusia tersebut yaitu pola sikap dan pola perilaku. Jika seseorang datang dengan budaya masjid, pola sikap dan perilaku yang akan kita temui adalah alim, santun dan irrasional, sedangkan budaya pasar akan melahirkan suatu sikap dan perilaku yang progresif, rasional dan siap melakukan kompetisi.
Di Indonesia sendiri fungsional dari bulan Ramadhan yang sebenarnya beralih fungsi, kita tahu bahwa di dalam umat Islam fungsi sebenarnya Ramadhan adalah peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT, dimana seharusnya bulan ini berfungsi sebagai waktu ibadah yang paling spesial dan paling di agung-agungkan di dalam diri umat islam, tapi realita yang ada bahwa fungsi Ramadhan berganti menjadi ajang konsumerisme yaitu ajang kompetisi jual beli di pasar meningkat pesat, bukannya ajang mempedalam keimanan dan ketaqwaan.


Minggu, 16 Agustus 2009

perjalananku

Tatapan mataku tertuju ke bukit-bukit dan tanah-tanah tandus di sekitarku,
selama 3 jam aku dan teman-temanku melakukan perjalanan menuju Indramayu,
namun mataku terus menatap keadaan di sekitarku,
betapa gersang tanah itu,
betapa keringnya tanah itu,

aku mulai bertanya pada diriku sendiri,
apa yang sebenarnya terjadi?
dan siapa yang melakukan semua ini?

apakah ini perbuatan sang pencipta,
apakah ini perbuatan manusia,
apakah ini perbuatan alam,
yang pasti semua itu berkaitan satu sama lain,

di satu sisi sang pencipta marah,
akan tindakan-tindakan manusia yang egois,
yang tidak memikirkan sekitarnya,
di sisi lain manusia menghacurkan alam sekitarnya,
dan sisi lain alampun marah melihat dirinya tidak di pedulikan,

Minggu, 09 Agustus 2009

Keselamatan Hutan Indonesia vs Perubahan Iklim vs Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2008 .

Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam – sebuah angka yang menurut Greenpeace layak menempatkan Indonesia di dalam the Guinness Book of World Records sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.

Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ‘State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Menurut laporan tersebut sepuluh negara membentuk 80 persen hutan primer dunia, dimana Indonesia, Meksiko, Papua Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun waktu 2000 hingga 2005. “Tingkat penghancuran hutan yang luar biasa ini membuat Indonesia layak untuk masuk ke dalam the Guinness book of World Records bergabung dengan Brasil yang saat ini memegang rekor kawasan deforestasi terluas di dunia," ungkap Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional, Greenpeace Asia Tenggara.

Angka terbaru ini mencerminkan tidak adanya keinginan maupun kemampuan politis dari pemerintah Indonesia untuk menghentikan kehancuran hutan yang sudah sangat parah ini. Serangkaian bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan parahnya keadaan hutan kita. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara pengemisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia,” tambah Hapsoro.

Menurut FAO, angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1.8 juta hektar/tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 2.8 juta hektar/tahun. Indonesia masih dibawah Brasil yang menempati tempat pertama dengan kerusakan 3.1 juta hektar per tahun, dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0.6%.

Saat ini kita hidup di mana tingkat kerusakan lingkungan berada pada kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Data-data kerusakan hutan Indonesia selanjutnya semakin mengerikan dan Hutan-hutan gundul juga muncul di daerah ketinggian di lereng-lereng gunung yang sangat mengkhawatirkan, misalnya lahan gundul di gunung Sumbing-Sindoro mencapai 2.459,5 hektar. Kerusakan hutan juga terjadi di kawasan hutan lindung, sebagai kawasan yang harus tetap dipertahankan keberadaannya. Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta hektar dari total areal hutan seluas 130,85 juta hektar. Namun pada tahun 2006 terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau setara dengan 6,27 juta hektar mengalami rusak berat. Bahkan pulau Bali pun tidak luput dari ‘menggilanya’ angka kerusakan hutan. Di Pulau tersebut tercatat sebesar 25% dari total luas hutan disana yaitu 31.817,75 ha telah mengalami perubahan tata guna lahan. Kemudian diperkirakan pula bahwa tiap tahunnya sebesar 350 ha hutan di Bali terbakar.[1]

Kerusakan-kerusakan hutan tersebut membawa banyak konsekuensi dari terdegradasinya suatu ekosistem seperti kerusakan habitat bagi satwa, perubahan fungsi hidrologi, adanya jenis-jenis invasive serta hilangnya kapasitas produktivitas ekosistem. Oleh sebab itu restorasi terhadap ekosistem tersebut mendesak untuk dilaksanakan. Salah satu kajian ilmu yang diperlukan adalah kajian ekologi restorasi

Hal yang sangat diperlukan saat ini adalah moratorium bagi industri dan kegiatan logging di seluruh Indonesia untuk melindungi apa yang masih tersisa dari hutan kita. Tekanan publik diperlukan untuk mendesak pemerintah untuk menyadari betapa dahsyatnya masalah ini, dan untuk segera mengambil tindakan.

Hal tersebut dapat diatasi bilamana kegiatan-kegiatan yang merusak hutan di lakukan moratorium secara serentak di Indonesia, tapi disaat aktivis-aktivis lingkungan lagi gencar-gencarnya menyerukan akan ada moratorium, malah pemerintah Indonesia mengeluarkan satu permasalahan lagi, yaitu mengeluarkan peraturan pemerintah Peraturan Pemerintah no 2 tahun 2008 yang salah satu bunyinya : “mengizinkan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan pertambangan, infrastruktur telekomunikasi dan jalan tol dengan tarif Rp. 120 (untuk hutan produksi) sampai Rp. 300 (untuk hutan lindung) per meter persegi per tahun.[2]

Lebih lanjut, keluarnya PP ini juga membuktikan bagaimana pemerintahan SBY - JK yang hanya mampu mengumbar janji pelestarian lingkungan hidup. Baru beberapa bulan yang lalu Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertemuan internasional tentang perubahan iklim (yang biasa disebut dengan istilah Pemanasan Global atau Global Warming), yang memprakarsai upaya-upaya pengurangan emisi karbon dari hutan. Bahkan pemerintah Indonesia "rela mengemis" untuk proyek "penjagaan" hutannya seluas 37 juta hektar sebagai penyerap karbon. Namun sekarang pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang sangat bertolak belakang dengan hal tersebut, PP Nomor 2 tahun 2008 malah akan semakin memperkeruh iklim global. Karena jutaan hektar hutan akan dibongkar (dengan mudah/murah) dan akan melepaskan jutaan ton karbon ke udara, sekaligus menghilangkan 11 juta hektar yang berpotensi sebagai penyerap karbon itu sendiri.

Suatu hal yang bisa saja terjadi bila penyewanya adalah orang luar dari Negara-negara maju mereka menyewa dengan mengatas-namakan orang Indonesia, dengan dana besar mereka akan mengeruk uang tak terbatas dari hasil tambang dengan modal murah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan ditujukan untuk menyelamatkan hutan, "PP ini dikeluarkan sebagai kelanjutan dari pemerintah-pemerintah sebelumnya. Tujuannya baik agar hutan kita semakin selamat, di satu sisi mendatangkan penerimaan negara untuk ekonomi, untuk kesejahteraan, di sisi lain untuk menyelamatkan bumi kita," kata Presiden Yudhoyono, usai memimpin rapat terbatas di Departemen Kehutanan, Jakarta, Jumat

Menurut Presiden, dari pemberitaan yang berkembang belakangan ini ada persepsi keliru dari publik seolah-olah dengan PP ini pemerintah begitu saja mengijinkan perusahaan tambang beroperasi di kawasan hutan lindung yang tidak sesuai dengan semangat memerangi pemanasan global (global warming), "Sebenarnya tidak seperti itu. PP itu lanjutan dari PP I/2004 sebagai revisi UU 41/1999 yang ditindaklanjuti oleh Kepres 41/2004 pada masa pemerintahan Megawati yang mengatur ijin 13 perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan," katanya.

PP ini, lanjutnya, dikeluarkan untuk mengatur mereka yang sudah berusaha di kawasan hutan lindung supaya dapat memberikan kontribusinya untuk negara dan yang penting untuk tujuan memelihara, merehabilitasi dan menghutankan kembali kawasan hutan lindung itu.
Presiden juga membantah bahwa PP itu mengatur penyewaan kawasan hutan lindung untuk operasional perusahaan tambang, dan nilainya juga ditentukan berdasarkan kajian sesuai standar penerimaan negara bukan pajak, "Yang jelas konsepnya bukan sewa menyewa. Dan ini bukan tiba-tiba menyewakan kawasan hutan lindung untuk pertambangan. Murah atau tidak murah, pantas atau tidak pantas itu bisa ditelaah, sangat terbuka untuk itu," katanya.
Kepala Negara juga mengatakan bahwa pemerintah bukan tidak boleh menggunakan hutannya, karena hutan juga bisa digunakan untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asal digunakan sebaik-baiknya, "Kita mengelola hutan untuk ekonomi kita, yang penting dikelola dengan baik. Dengan PP ini negara akan mendapatkan lebih banyak dana untuk memperbaiki hutan kita,"tambah Presiden”, Sementara itu, Menteri Kehutanan MS Kaban mengatakan bahwa PP nomor 2 hanyalah tindak lanjut peraturan yang dikeluarkan pemerintah sebelumnya. Sementara bagi perusahaan pemohon baru tidak akan diberi ijin oleh Dephut untuk beroperasi dikawasan hutan lindung. PP nomor 2/2008 ini hanya mengubah kompensasi penggunaan kawasan hutan dari penggantian lahan menjadi pembayaran dana kompensasi, yang dananya akan digunakan Dephut untuk mengganti kawasan-kawasan yang ada. Dengan PP ini diharapkan kita akan lebih intensif merehabilitasi kawasan hutan lindung ini,"katanya.[3]

Jika alasan pertama keluarnya PP tersebut untuk menambah pendapatan negara, maka tentunya akan sangat keliru, karena diperkirakan negara akan mengalami kerugian akibat hilangnya fungsi hutan lindung sebesar Rp. 70 Triliun per tahun. Tidak sebanding dengan potensi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 2,78 Triliun yang diperoleh melalui PP tersebut. Jelaslah bahwa maksud utama dari terbitnya PP ini tidak lebih dari upaya untuk memberikan "servis" yang memadai bagi kepentingan modal besar. Sebagaimana karakter pemerintahan SBY - JK, yang lebih senang menjamu pemodal ketimbang memikirkan kemiskinan rakyat.[4]

Selain persoalan tersebut, jika ditinjau dari segi ekologi, pembukaan tambang di hutan jelas akan menimbulkan kerusakan permanen, karena areal penambangan tidak dapat terbarukan. Artinya areal bekas tambang tidak bisa lagi dikembalikan seperti semula. Hutan lindung yang sudah dirambah untuk kegiatan tambang, fungsinya akan hilang selamanya. Secara pasti, PP ini akan mengupas habis lebih dari 900 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang akan dilakukan oleh 13 Perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan, sekaligus berpotensi untuk memuluskan jalan bagi 158 perusahaan tambang lainnya untuk menjarah 11,4 juta hektar hutan lindung lainnya, tentunya hanya dengan membayar Rp. 300/m2/tahunnya. Di Sulawesi Tenggara sebanyak (sekitar) 53 perusahaan tambang dengan jumlah 114 KK dan KP (yang terdaftar di distamben Sultra) yang menguasai 1.160.833,475 Ha lahan pertambangan di Sultra akan menikmati kemudahan dari PP ini, hal tersebut mengindikasikan bahwa potensi kerusakan hutan di Sultra akan lebih besar lagi di tahun-tahn yang akan datang. Yang tentunya akan berdampak pada salah satu penopang kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah pedesaan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, untuk selamanya. Ini juga berarti bahwa sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara yang selama hidup dengan mengandalkan areal hutan produksi akan kehilangan sumber penghidupan. Karena nyatanya dengan masuknya 53 perusahaan di Sulawesi Tenggara saat ini (bahkan semuanya sudah beroperasi -dalam tahap eksploitasi), sama sekali tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, utamanya mereka yang hidup di sekitar areal tambang. Bahkan justru akan memunculkan masalah baru seperti air bersih yang semakin langkah akibat limbah, dan juga munculnya berbagai penyakit.[5]

Pakar ekologi dari Universitas Cornell, David Pimentel memperkirakan dalam tiap tahunnya sekitar 62 juta kematian atau 40 persen dari total kematian di dunia saat ini disebabkan oleh faktor kerusakan lingkungan (Surya,26/9/07). Hal ini tidak lain akibat dari terjadinya penipisan lapisan ozon yang akan meningkatkan intensitas sinar ultra violet. Pelindung yang sejatinya akan mengurangi jumlah radiasi matahari ke bumi. Bila tidak hal ini akan menyebabkan banyak kasus kanker kulit, katarak, dan pelemahan sistem daya tahan tubuh. Dan yang paling membahayakan adalah kerusakan lingkungan akan semakin parah di permukaan bumi. Kalau memang begini realitanya, hasil penelitian di atas sungguh bukanlah hal yang mengada-ada.
Selain itu juga, dampak dari penipisan lapisan ozon secara global sungguh jauh mengerikan bila dibandingkan dengan bencana-bencana yang terjadi diseluruh penjuru dunia saat ini. Ketika bencana akibat meluasnya lubang ozon benar-benar terjadi, hal ini tidak hanya akan menghancurkan infrastruktur, tetapi juga dapat memusnahkan seluruh kehidupan di bumi. Jika penipisan lapisan ozon ini tetap berlanjut tanpa adanya berbagai antisipasi, suatu bentuk bencana global yang menghancurkan kehidupan manusia bahkan seluruh makhluk hidup di Bumi hanyalah tinggal menunggu waktu saja.

Isu penipisan lubang ozon itu sendiri sesungguhnya telah menjadi salah satu isu internasional terutama di PBB dalam hal Lingkungan Hidup, United Nations Environment Programme (UNEP), sejak tahun 1987. Organisasi yang terbentuk dalam sebuah protokol konvensi, dikenal dengan Montreal Protocol, mengajak kepada seluruh negara yang telah menandatangani konvensi tersebut untuk menghapus produksi CFC (Chlorofluorocarbon) secara bertahap pada 1 Januari 1996. Jika upaya ini berhasil maka lapisan ozon akan kembali normal pada tahun 2050.

Produksi dan pemakaian CFC memang telah dikurangi bahkan nyaris tidak ada lagi, namum muncul lagi sekian aktivitas dan bahan yang kembali turut memberikan andil terjadinya penipisan lapisan ozon. Terbukti dengan meningkatnya pemanasan global sebagai mata rantai dampak penipisan pada lapisan ozon abad ini. Adalah pemakaian emisi karbon dioksida dan efek rumah kaca. Sepanjang abad ke-20, telah terjadi 10 kasus tahun terpanas hanya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Tahun 1998 tercatat sebagai tahun terpanas di abad ke-20, yang berdampak terjadinya kebakaran hutan di Indonesia, Brasil, Australia atau negara lainnya dan kemarau panjang yang memusnahkan panen seperti di Afrika, serta bencana iklim lainnya akibat fenomena El-Nino (Kompas,27/9/02).

Persoalan serius akan berlanjutnya penipisan pada lapisan ozon adalah tanggungjawab bersama masyarakat dunia. Dan bukan hanya tanggungjawab negara-negara maju maupun negara-negara berkembang saja. Seluruh manusia di muka bumi ini harus saling mengoreksi diri masing-masing sebelum menemui pintu dari ambang kemusnahan. Mengingat dampak dari bencana yang disebabkan oleh menipisnya lapisan ozon tentu tidak hanya akan dialami oleh bangsa atau negara yang menyumbang paling besar akan terjadinya penipisan lapisan ozon ini.[6]

Dikaitkan dengan perubahan iklim yang sekarang ini lagi terjadi di seluruh penjuru bumi, khususnya Indonesia sendiri, yang pada bulan Desember tahun 2007 menjadi tuan rumah KTT Global Warming, yang membahas tentang dampak-dampak yang terjadi dan penyebab-penyebab perubahan iklim tersebut.

Perubahan iklim merupakan ancaman nyata yang memerlukan tindakan yang segera. Perubahan – perubahan fungsi lahan dan terus berkurangnya keanekaragaman hayati adalah salah satu factor signifikan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Manusia bergantung kepada manfaat-manfaat yang diberikan oleh ekosistem dalam hidupnya. Ecosystem services ini termasuk diantaranya adalah produk-produk berupa makanan, udara bersih, pengendalian penyakit, perlindungan terhadap bencana seperti banjir serta manfaat estetis dan rekreasi. Manfaat ekosistem sebagai pengatur (regulating services) diantaranya adalah service yang diberikan oleh ekosistem hutan di dalam memitigasi dampak perubahan iklim dengan cara menyerap karbondioksida dari atmosfer dan menyimpannya sebagai biomasa. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak services yang bisa diberikan dari sekian banyak ekosistem dari terrestrial maupun aquatic. Untuk dapat terus menikmati service-service tersebut, ekosistem-ekosistem yang ada harus dikonservasi, dan apabila diperlukan segera dilakukan restorasi terhadap ekosistem yang terdegradasi. Gangguan terhadap ekosistem, terdegradasinya habitat menyebabkan hilangnya fungsi vital dan services dari ekosistem yang selanjutnya mengurangi tingkat resiliensi dan adaptabilitas biologis, yang kemudian meningkatkan tingkat kerentanan terhadap dampak dari perubahan iklim global. Restorasi ekologi didefinisikan sebagai aktivitas yang disengaja yang dilakukan untuk menginisiasi atau mempercepat proses recovery suatu ekosistem terutama berhubungan dengan fungsi, integritas dan kelestariannya. Restorasi ekologi adalah salah satu perangkat kerja yang dapat membantu memitigasi climate change dengan cara: Pertama, adalah dengan me-reconnecting ekosistemekosistem yang terfragmentasi sehingga memungkinkan binatang dan tumbuhan untuk bermigrasi sebagai respon dan adaptasinya terhadap dampak perubahan iklim sehinngga mencegah terjadinya kepunahan. Kedua, dengan menyerap karbon, melalui kegiatan restorasi hutan, wetlands dan tipe ekosistem lainnya yang dapat berfungsi sebagai carbon sinks. Hal ini telah menjadi perhatian dari masyarakat ekologi restorasi atau the Society of Ecological Restoration (SER) sejak lama. Telah terlihat indikasi yang nyata dan adanya konsensus internasional bahwa pemanasan global kini tengah terjadi di bumi. Penyebab utama dari pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca yang sebagian besar merupakan ‘kontribusi’ daripada aktivitas manusia. Dampak daripada pemanasan global ini tidak hanya terhadap pola iklim, akan tetapi juga terhadap ekosistem dunia.

Pada tahun 2050 berdasarkan proyeksi IPCC, di Asia akan mengalami hal serupa yang dialami oleh Afrika pada tahun 2020, yaitu terjadinya water stress, dimana persediaan air bersih akan berkurang drastic dan diikuti oleh meningkatnya bencana banjir akibat naiknya muka air laut, hal ini terutama terjadi pada daerah pesisir dan delta yang padat penduduk. Hal ini sebenarnya telah terlihat beberapa tahun belakangan ini di Pulau Jawa. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani dalam WALHI (2006) , bencana banjir di Indonesia menduduki porsi sebesar 32,96% dari total jumlah kejadian bencana. Masih menurut mereka, di pesisir Jawa, pada kurun waktu 1996 hingga 1999 saja, setidaknya terdapat 1.289 desa terendam banjir. Kemudian seperti yang telah disebutkan di atas, water stress akan terjadi di Indonesia akibat musim kemarau dan kekeringan yang berkepanjangan. Beberapa tahun belakangan, musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan. Misalnya menurut WALHI (2006) pada tahun 2003 saja tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sektor kehutanan adalah sector yang paling besar mendapat tekanan terutama pada saat musin kemarau terutama berkaitan dengan bencana kabut asap akibat pembakaran atau kebakaran hutan dan lahan di berbagai propinsi di Indonesia. Hal ini sangat penting diperhatikan karena seperti yang telah kita ketahui bahwa penyusun utama dari gas rumah kaca adalah karbondioksida dan pembakaran yang terjadi di hutan hujan tropis berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi karbondiokasida di atmosfer sebesar 20% (Houghton, 1991).

Dengan semakin meningkatnya bukti-bukti nyata dari dampak pemanasan global maka kepentingan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap lingkungan sudah semestinya menjadi domain public dunia. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak pemanasan global perlu untuk segera dilakukan. Revitalisasi kehutanan seperti yang telah digulirkan perlu untuk segera di implementasikan. Salah satunya adalah upaya untuk merehabilitasi ekosistem yang terdegradasi. [7]

Peran pemerintah dalam menyelamatkan hutan Indonesia tentunya sangat di perlukan, persoalannya menyelamatkan hutan Indonesia dari kehancuran memang bukanlah hal yang mudah. Hutan Indonesia yang jutaan hektar telah terlanjur di-cap internasional sebagai paru-paru dunia. Jika perlu buat agenda nasional dimana dimulainya langkah baru dan serius atasi masalah ini. Bisa jadi pula hari itu menjadi hari kebangkitan hutan nasional yang akan dikenang sepanjang sejarah Indonesia.


[1] www.greenpeace.or.id

[2] Ibid.hal-1

[3] www.antaranews.com

[4] Ibid. hal-5

[5] www.walhi.co.id/sultra

[7] Metamorfosa, Saturday, February 09, 2008

Minggu, 02 Agustus 2009

Pencemaran Lingkungan terhadap Kesehatan

Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan sangat penting agar dapat menanggulingi permasalahan lingkungan secaraterpadu dan tuntas. Dewasa lingkungan hidup sedang menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia umumnya.

Meningkatnya perhatian masyarakat mulai menyadari akibat-akibat yang di timbulkan oleh kerusakan lingkungan hidup. Sebagai contoh apabila ada penumpukan sampah di kota maka permasalahan ini di selesaikan dengan mengangkut dan membuangnya ke lembah yang jauh dari pusat kota, maka hal ini tidak akan memecahkan permasalahan malah akan menimbulkan permasalahan baru, seperti pencemaran air tanah, udara, bertambahnya jumlah lalat, tikus dan bau yang merusak, pemandangan yang tidak mengenakkan untuk dilihat. Akibatnya menderita interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya dan manusia akhirnya menderita kesehatan. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Hal ini membutuhkan daya dukung lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.

Masalah lingkungan sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, masalah lingkungan bukan lah masalah yang hanya dimiliki atau dihadapi oleh negara-negara maju ataupun negara-negara miskin, tapi masalah lingkungan hidup adalah sudah merupakan masalah dunia dan masalah kita sendiri.

Keadaan seperti ini menyebabkan kita berpikir bahwa pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan ini sangat penting agar dapat menanggulangi lingkungan secara terpadu dan tuntas.

Masalah lingkungan merupakan kenyataan yang harus dihadapi, kegiatan pembangunan terutama di bidang industri yang banyak menimbulkan dampak negatif yang merugikan banyak masyarakat khususnya terhadap masyarakat sekitar industri tersebut. Masalah lingkungan hidup ini merupakan suatu masalah yang komplek dan harus di selaikan dengan berbagai pendekatan multidisipliner.

Industrialisasi merupakan suatu condition sine quanon keberhasilan dibidang ekonomi, tetapi pertumbuhan industri ini mengundang resiko yang besar terhadap dampak lingkungan. Oleh karena itu, munculnya industri di suatu kawasan mengundang sorotan dan kritikan dari masyarakat. Yang dipermasalahkan adalah dampak negatif limbahnya yang harus diantisipasi untuk kesehatan masyarakat.

Kemampuan manusia untuk mengubah atau memodifikasi kualitas lingkungannya tergantung pada taraf sosial budayanya. Masyarakat yang masih primitif hanya mampu mebuka hutan semampunya untuk memberi perlindungan terhadap pada masyarakat. Sebaliknya masyarakat maju sosial budayanya dapat mengubah lingkungan hidup sampai taraf yang irreversible. Perilaku masyarakat ini menentukan gaya hidup tersendiri yang akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan yang di inginkannya mengakibatkan timbulnya penyakit.

Dengan demikian permasalahan kesehatan masyarakat merupakan hal yang kompleks dan usaha pemecahan masalah kesehatan masyarakat merupakan upaya menghilangkan penyebab-penyebab secara rasional, sistematis dan berkelanjutan.