Selasa, 28 Juli 2009

Global Warming Impact

Gelombang cahaya matahari memanaskan bumi. Cahaya matahari ini harus melalui lapisan atmosfer yang menyelubungi dan melindungi bumi. Cahaya ini kemudian diserap oleh benda-benda yang ada di bumi. Sisanya dipantulkan kembali ke ruang angkasa melalui radiasi.

Atmosfer yang menyelimuti bumi terdiri atas campuran berbagai gas. Beberapa jenis gas seperti Karbondioksida, Dinitroksida, dan Metana menahan panas matahari yang masuk dan mencegahnya kembali ke angkasa. Hal ini yang menyebabkan permukaan bumi tetap hangat sehingga bisa ditinggali makhluk hidup. Gas-gas tadi dinamakan Gas Rumah Kaca (GRK) karena efeknya mirip panel yang berfungsi menahan panas supaya rumah kaca tetap hangat.

Tetapi jika GRK terlalu banyak, panas matahari yang terperangkap di bumi terlalu banyak sehingga suhu bumi meningkat. Dari tahun ke tahun jumlah GRK semakin banyak karena polusi yang disebabkan manusia. Hal ini menyebabkan bumi semakin panas. Diantara semua gas tadi, Karbondioksida adalah GRK utama. Jumlahnya sekitar 80% dari keseluruhan GRK.

Ada banyak hal yang menimbulkan GRK. Karbondioksida muncul akibat penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara, gas, dan minyak. Penebangan hutan juga menyumbang tingginya karbondioksida di atmosfer. Saat pohon ditebang, ia melepaskan karbondioksida karena pohon berfungsi menyerap karbon.

Tak diragukan lagi bahwa deforestasi di Indonesia telah menimbulkan dampak serius pada tingkat internasional juga di tingkat nasional dan lokal. Penebangan hutan yang merusak, kebakaran hutan yang tak terkendali, pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, pengerukan bahan bakar dari fosil, pembangunan wilayah transmigrasi, budidaya hewan air, dan pembangunan jalan telah sejak lama dikaitkan dengan dampak sosial dan ekonomi yang negatif bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan, dan kerugian keuangan yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.

Sebuah studi baru kini tengah menyoroti gambaran global, yang menunjukkan Indonesia sebagai penyumbang utama perubahan iklim, sekaligus sangat rentan terhadap dampak yang ditimbulkannya. Perusakan hutan, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan dituding sebagai penyebab utama masuknya Indonesia dalam urutan tiga besar penghasil emisi terbesar gas rumah kaca setelah AS dan Cina.

Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim. Meningkatnya suhu bumi iklim yang tidak menentu (perubahan suhu, curah hujan, musim) dan perubahan cuaca secara ekstrim. Seperti hujan turun sangat deras sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di tempat lain terjadi kekeringan dan kemarau panjang. Perubahan iklim juga menyebabkan serangan gelombang panas, topan, badai, dan kekeringan. Bencana membawa kerusakan, kerugian, bahkan korban. Perubahan iklim kadang bisa menyebabkan tumbuhan atau makhluk hidup yang tidak mudah beradaptasi Termasuk didalamnya gagal panen akibat hujan yang turun terlalu banyak atau kekeringan panjang. Selain perubahan iklim juga mengakibatkan perubahan musim tanam – meningkatnya permukaan air laut akan meningkatkan biaya perolehan air bersih karena intrusi air laut.

Salah satu cara untuk mengurangi karbondioksida adalah dengan menanam pohon. Setiap pohon hidup menyerap karbondioksida sehingga mengurangi jumlah polusi karbondioksida. Dengan menanam pohon pula, udara di sekitar pohon tadi semakin sejuk karena pohon mengeluarkan oksigen dalam proses fotosintesisnya.

Pertanian organik juga bisa mengurangi karbondioksida di bumi. Pestisida kimia yang dipakai untuk membunuh hama tanaman juga membunuh mikroorganisme di tanah. Beberapa mikroorganisme ini berfungsi mengikat karbondioksida dalam tanah. Jika ia mati, karbondioksida akan dilepaskan ke udara. Selain itu, tanah tidak lagi subur secara alami sehingga membutuhkan lebih banyak pupuk.

Proses tak berkelanjutan dari pembangunan terus-menerus memaksa sumber daya alam, sementara pola produksi dan konsumsi yang tak dapat dilanjutkan, khususnya di negara maju, mengancam kerapuhan lingkungan alam dan memperparah kemiskinan di lain tempat. Dengan meletakkan fokus utama pada kemiskinan terkandung asumsi bahwa kemiskinan adalah masalahnya seperti menyepakati bahwa dengan peralihan kemiskinan menuju kekayaan, pembangunan berkelanjutan akan tercapai. Benarkah? Kita harus sangat berhati-hati dalam memandang kemiskinan sebagai penyebab dari pembangunan tidak-berkelanjutan, karena justru yang kayalah yang memiliki tingkatan produksi dan konsumsi tak berkelanjutan yang lebih tinggi. Mereka mampu membuat pilihan-pilihan, sementara kaum miskin - yang terperangkap dalam lingkaran perampasan dan kerapuhan, tidak mungkin melakukannya. Walaupun yang kaya mampu menggunakan pola pembangunan berkelanjutan, mereka seringkali enggan melakukannya, sementara kaum miskin hanya punya sedikit pilihan selain menggunakan apa yang ada di lingkungan sekitar mereka.

Orang miskin rentan terhadap perubahan iklim, karena secara langsung maupun tidak langsung mereka yang miskin (akibat ketidakberdayaan, keterkucilan, kemiskinan materi, dan kerentanan) bergantung pada ekosistem untuk pendapatannya (bertanam, mengumpulkan, beternak, mencari ikan). Ekosistem yang buruk akan menambah beban pengeluaran mereka (di perkotaan pada daerah kumuh rentan penyakit, dan terpapar pencemaran udara/air).

Tidak ada komentar: